09 Desember 2009

Televisi Membuat Si Kecil Bodoh

IBU DAN ANAK - Tahu tidak,
menjauhkan si kecil dari televisi
ternyata malah akan
memberinya kesempatan
mengembangkan beragam
kecerdasan.
Saat menghadapi si kecil yang
rewel, kita sering menggunakan
cara gampang yang dianggap
"ampuh", yakni mengajaknya
nonton teve. Lalu, tak sedikit
orang tua yang merasa bangga
bila anaknya mampu menghapal
kalimat atau lagu maupun akting
yang didapatnya dari tayangan
teve. Apa iya jurus tersebut
memang benar-benar ampuh
dalam arti kata sebenarnya?
Apakah kemampuan si kecil
menghapal lagu, kalimat, atau
akting dari teve menjadi
pertanda si kecil cerdas?
Ternyata itu semua justru salah
kaprah dan tidak benar sama
sekali. Membiarkan anak
nongkrong sepanjang waktu di
depan teve justru membuat
kemampuan kerja otaknya jadi
tidak terstimulasi dengan baik.
Menurut dr. Adre Mayza, Sp.S.
dari Tim pendidikan Anak Dini
Usia (Padu) Universitas Negeri
Jakarta dan Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas)
kasihan sekali bila anak yang
masih di bawah usia dua tahun
sudah dijejali tayangan televisi.
Di rentang usia 0-2 tahun,
perkembangan cabang dan
jaringan otak sedang pesat-
pesatnya. Nah, dari teve, anak
tidak akan mendapat stimulasi
yang optimal bagi
perkembangan itu. "Padahal ini
akan berlanjut menjadi tidak
terstimulasinya otak anak secara
keseluruhan. Efeknya anak akan
jadi manusia pasif. Kasihan,
kan?"
HAMBAT JARINGAN
Secara terperinci Adre
menjelaskan proses munculnya
dampak merugikan tadi. Oleh
karena tayangan teve bersifat
audiovisual, dengan
menontonnya anak akan
mendapat semua masukan
informasi secara bersamaan,
baik suara maupun gambar yang
berganti-ganti secara cepat. Nah,
saat anak melihat sesuatu di
layar teve berarti ia menangkap
bentuk, warna, dan gerak objek.
Bersamaan dengan itu, ia pun
mendengar suara yang
berkumandang.
Sayangnya, dengan mendapat
dua bentuk informasi sekaligus
(audio dan visual) dari teve, pola
pikir anak malah jadi tidak
terangsang secara keseluruhan.
Pergantian gambar yang begitu
cepat membuat rangsangan
suara hanya "numpang lewat".
Akibatnya cuma pusat visualnya
saja yang terangsang, sementara
pusat pendengarannya kurang.
Lain lagi jika anak mendapatkan
stimulasi dengan menggunakan
skala prioritas. Contohnya, jika
anak mendengarkan lagu dari
radio atau tape, maka menurut
Adre, anak akan terfokus pada
kegiatan mendengarkan lagu. Di
saat yang sama, dia akan
membayangkan seperti apa, sih,
"bentuk" suara tersebut? Kok
bisa, sih, lagu tersebut "menari-
nari" alias ada naik turunnya?
Itu semua merangsang otaknya
bekerja untuk membayangkan
hal-hal tadi. Dengan kata lain,
anak akan terstimulasi mengikuti
alunan suara lagu atau musik
yang didengarnya. Hal ini kurang
lebih sama dengan yang terjadi
pada bayi. Jika diperdengarkan
suara-suara, si bayi pasti akan
mencari-cari sumber suara
tersebut.
Berbeda dengan anak yang
disuguhi tayangan audiovisual.
"Saat itu anak akan diam terpaku
menyaksikan tayangannya yang
berganti-ganti secara cepat.
Otaknya pun tidak terstimulasi
secara optimal karena yang
terstimulasi hanya pusat
visualnya. Padahal di usia ini,
semua pusat di otak harus
terstimulasi, mulai pusat visual,
pusat pendengaran, sampai
pusat gerak."
Lewat stimulasi itulah, Adre
bilang, nantinya akan tumbuh
cabang-cabang yang
membentuk jaringan di otaknya.
Jaringan inilah yang kelak
berfungsi menghubungkan
semua pusat tersebut dan inilah
yang diharapkan terjadi melalui
proses belajar anak dini usia.
Berarti, kalau anak dibiasakan
nonton teve sejak dini, selain
hanya pusat visualnya saja yang
terangsang, pada otaknya juga
tidak akan terbentuk jaringan-
jaringan yang menghubungkan
pusat-pusat yang ada.
CIPTAKAN ANAK UNGGUL
Cabang-cabang neuron yang
membentuk jaringan tersebut
pada manusia normal jumlahnya
bisa mencapai 100 hingga 200
milyar yang kemudian akan
membentuk jaringan. "Cabang-
cabang inilah yang menentukan
seseorang kreatif atau tidak, dan
cerdas atau tidak," kata Adre,
"Soalnya, cabang-cabang inilah
yang ternyata menentukan
kemampuan gerak, kemampuan
merespons, dan kemampuan
refleks. Disamping itu,
kemampuan daya tangkap dan
konsentrasi anak juga
ditentukan oleh rimbun tidaknya
cabang-cabang ini, untuk
nantinya mampu membedakan
sesuatu, seperti membedakan
warna ataupun bentuk."
Pada orang dewasa, cabang dan
jaringan di sel-sel neuron (sel
otak) ini banyak sekali. Terlebih
pada mereka yang kreatif dan
cerdas. Sedangkan pada anak-
anak, jaringan-jaringan yang
menghubungkan pusat-pusat
kemampuan di otak belum
terbentuk sepenuhnya. Nah,
tugas orang tualah untuk
membantu membangun
jaringan-jaringan ini supaya
cabang-cabang sel neuron
tersebut bisa saling
berhubungan dan bisa
menghubungkan pusat-pusat di
otak. Caranya, kata Adre, tak ada
yang lain kecuali lewat proses
belajar.
Yang jelas, proses belajar yang
dimaksud bukanlah menonton
televisi. Cara ini sama sekali tidak
mampu menstimulasi secara
optimal sel-sel neuron yang
jumlahnya milyaran. Kalau sel-sel
neuronnya tidak terstimulasi,
tentu saja cabang-cabang
otaknya pun tidak akan tumbuh
dengan baik atau tidak bisa
berkembang semuanya.
Andaikan satu sel neuron
memiliki 5 cabang, misalnya,
kalau si anak gemar
menghabiskan waktunya
dengan nonton teve, paling-
paling hanya 2 sel yang
berkembang. Sayang sekali, kan,
jika sebetulnya kemampuan
anak bisa mencapai 5, tapi yang
berkembang hanya 2.
Bila jaringan-jaringan sel neuron
di otak terjalin secara optimal,
dampaknya bakal
menguntungkan. Anak tersebut
akan tumbuh menjadi anak yang
baik dalam perilaku ataupun
sikapnya. Sementara sosialisasi
dan interaksinya dengan
lingkungan pun akan baik pula.
Menurut Adre, anak-anak seperti
ini biasanya akan bersikap
ramah dan rendah hati, serta
mau mendengar pendapat orang
lain. Dengan kata lain, IQ, EQ, SQ,
maupun CQ-nya berkembang
baik.
Tidak susah, kok, memberikan
stimulasi yang tepat, yakni
hindarilah pemberian banyak
konsep dan masukan dalam
waktu bersamaan seperti halnya
gambar dan suara yang
berganti-ganti di teve. Sayang,
kan, jika pembelajaran yang kita
berikan kepada anak hanya
merangsang pusat visual saja.
Hindari pula pembelajaran
berupa gerakan tanpa berpikir
yang hanya dapat merangsang
pusat gerak. Misalnya,
menggoyang-goyangkan tangan
secara acak tanpa bertahap.
"Sedangkan jika kita melakukan
gerakan sambil berpikir, maka
akan ada dua pusat di otak yang
terang-sang. Kalau kita mampu
merang-sang dua pusat ini,
berarti kita telah membentuk
sistem atau jaringan, dan inilah
yang harus kita ajarkan kepada
anak," ujar Adre.
Editor: acandra
Sumber : www.tabloid-
nakita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar